Tak bisa dipungkiri bahwa
pada aksi 411 yang lalu, beberapa kalangan non-Muslim ikut berpartisipasi
menuntut agar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok segera dieksekusi.
Walaupun begitu, publik tahu bahwa representasi aksi damai ini membawa nama
agama Islam.
Mungkin, saat ini tidak ada agama yang melampaui ‘keseksian’ Islam untuk
dikontestasikan dalam diskursus politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa kita
saksikan utamanya pasca 9/11. Salah satu formula yang sangat mengejutkan,
misalnya, adalah artikel yang berjudul Qatar Reshapes Its Schools, Putting
English Over Islam pada tahun 2003 di Washington Post menyuguhkan argumen bahwa
dengan memberi jam pelajaran lebih terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris, maka
diharapkan akan membantu proses deradikalisasi. Seolah-olah Bahasa Inggris
adalah suatu ideologi yang bisa mengurangi teror dunia dan Islam adalah agama
teror.
Studi korpus yang dilakukan Awass pada tahun 1996 adalah contoh lain. Dalam risetnya terhadap media Amerika, Awass menemukan bahwa artikel-artikel berita yang berkaitan dengan Islam akan selalu dikaitkan dengan ‘fundamentalisme’ dan terorisme’. Representasi Muslim juga diteliti oleh Baker, dkk pada tahun 2012. Mereka menemukan bahwa kata Muslim dalam surat kabar di Inggris selalu dikonstruksikan dalam terma-terma seperti ‘homogenitas’ dan ‘konflik’.
Representasi bahasa yang berhubungan dengan Islam ini juga menarik dalam konteks aksi damai, jilid 2 dan jilid 3. Kalau kita melakukan survei terhadap media-media daring yang berbahasa Inggris, maka kita akan menemukan bahwa kebanyakan judul mereka yang berkaitan dengan aksi 411 akan dipenuhi dengan kata dan frase: ‘violence’, ‘anti-Ahok’, ‘violent protest’, ‘Chinese Indonesian governor’, ‘radical’, ‘clashes’, ‘conservative’ ‘Christian governor’. Jumlah ini melampaui kata dan frase seperti 'Ahok’s Blasphemy case’ dan ‘peacefully’.
Seolah-olah ada konsensus dari media-media untuk menggunakan istilah tersebut. Menggiring ke pemaknaan yang terkesan negatif. Pierre Boudieu, seorang antropolog berkebangsaan Perancis mengkritik pendekatan tradisional terhadap bahasa seperti teori linguistik Saussure dan Chomsky.
Studi korpus yang dilakukan Awass pada tahun 1996 adalah contoh lain. Dalam risetnya terhadap media Amerika, Awass menemukan bahwa artikel-artikel berita yang berkaitan dengan Islam akan selalu dikaitkan dengan ‘fundamentalisme’ dan terorisme’. Representasi Muslim juga diteliti oleh Baker, dkk pada tahun 2012. Mereka menemukan bahwa kata Muslim dalam surat kabar di Inggris selalu dikonstruksikan dalam terma-terma seperti ‘homogenitas’ dan ‘konflik’.
Representasi bahasa yang berhubungan dengan Islam ini juga menarik dalam konteks aksi damai, jilid 2 dan jilid 3. Kalau kita melakukan survei terhadap media-media daring yang berbahasa Inggris, maka kita akan menemukan bahwa kebanyakan judul mereka yang berkaitan dengan aksi 411 akan dipenuhi dengan kata dan frase: ‘violence’, ‘anti-Ahok’, ‘violent protest’, ‘Chinese Indonesian governor’, ‘radical’, ‘clashes’, ‘conservative’ ‘Christian governor’. Jumlah ini melampaui kata dan frase seperti 'Ahok’s Blasphemy case’ dan ‘peacefully’.
Seolah-olah ada konsensus dari media-media untuk menggunakan istilah tersebut. Menggiring ke pemaknaan yang terkesan negatif. Pierre Boudieu, seorang antropolog berkebangsaan Perancis mengkritik pendekatan tradisional terhadap bahasa seperti teori linguistik Saussure dan Chomsky.
Dia beranggapan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi,
tetapi juga merupakan media bagi pihak-pihak yang ingin meyalurkan kepentingan
pribadinya. Dengan kata lain, bahasa merupakan kekuatan itu sendiri atau juga
disebut sebagai kekuatan simbolis.
Dari konsep ini, kita bisa melihat bahwa setiap interaksi
kebahasaan/linguistik merupakan alat yang kuat dalam mempengaruhi struktur
sosial. Pasar bahasa akan dipengaruhi oleh struktur sosial, tetapi karena
politik representasi—di mana arus utamanya berasal dari media-media (yang tentu
saja punya ideologi sendiri) maka bahasa, sebaliknya bisa mengubah struktur
sosial. Structuring
structure.
Politik penggunaan bahasa sebagai kekuatan simbolis ini
akan mengubah peta sosial masyarakat dengan pola oposisi biner. Jika bukan
Islam maka anti-Islam, kalau ber-Islam maka tidak berbineka, kalau tidak setuju
ahok, maka radikal. Dua-duanya merupakan titik ekstrem di mana kedua belah
pihak merasa sama-sama sebagai korban. Sebagai contoh, setelah aksi jilid 2,
tiba-tiba dari beberapa pihak melakukan parade Bhinneka Tunggal Ika.
Pemilihan frase ‘parade bhineka tunggal ika’ ini yang
disebut-sebut sebagai aksi tandingan dari aksi damai 411, seolah-olah
memperkuat gagasan bahwa kalau 411 berarti tidak berbineka, tidak menerima
keberagaman. Terlepas dari multitafsir Al-Maidah 51, kita sebenarnya sama-sama
tahu bahwa 411 bukanlah aksi anti etnis tertentu, tapi merupakan aksi untuk
menuntut keadilan hukum.
Contoh lain yang telah lama disematkan kepada Islam
misalnya adalah kata ‘teror’. Kita masih saja heran. Ketika yang melakukan
tindakan kejahatan Muslim, maka aksinya akan dikatakan teror. Tetapi
ketika yang melakukan adalah non-Muslim, maka tindakannya tidak akan disebut
sebagai teror.
Publik sudah mulai cerdas melihat hal ini. Tetapi jika pihak-pihak yang mendapatkan privilege untuk menggunakan bahasa masih saja terus menggiring konotasi yang kurang baik terhadap pengasosiasian Islam, atau hal-hal yang berhubungan dengan Islam, maka eskalasi konflik akan melebar. Masyarakat akan semakin terpecah belah. Non-Muslim akan dilihat buruk oleh Muslim atau sebaliknya, atau yang lebih kejam dan berbahaya, sesama Muslim akan berpecah belah.
Sebagai contoh, Muslim yang mengikuti irama kata
‘toleransi’ yang pemaknaannya menurut standar media akan menjaga jarak dan
bahkan membenci saudaranya Muslim yang dianggap tidak toleran (sesuai standar
media). Maka provokasi bahasa sebagai kekuatan simbolis secara nyata telah
mengubah struktur sosial. Kita sekarang menanti-nanti bagaimana aksi 212
diberitakan di ruang publik, baik oleh masyarakat maupun oleh media.
Kita akan menikmati akrobat kekuatan simbolis!
0 komentar:
Posting Komentar